Let’s write books in HTML! HTMLBook is an open, XHTML5-based standard for the authoring and production of both print and digital books.

Revision History and Notes

22 June 2023
Pertama kalinya menulis di buku html ini.

Cerita Saya

Saya hanyalah insan manusia yang dikirimkan Sang Pencipta ke Bumi. Insan manusia yang wajib belajar dari orok hingga liang lahat. Inilah refleksi kehidupan yang saya alami. Buah dari pemikiran dan benturan keadaan.

Saya tidak sedang balapan

Saya tidak sedang balapan dengan orang lain. Saya hanya ingin cepat sampai tujuan. Saya ingin segera absen menggunakan sidik jari. Walau motor supra 125 saya ini sudah bergetar pada kecepatan 70-80 km per jam. Tetap saya tidak ingin merasa balapan dengan orang lain. Saya hanya ingin berpikir jernih dan berhati-hati dalam berkendara.

Memang kecepatan tinggi ini punya efek dan distorsi rasa berbeda. Misalkan ketika terjadi salip menyalip. Ketika menyalip orang yang lebih lambat, saya merasa harus memikirkan perasaan orang tersebut. Maksudnya berusaha tidak terlalu mepet dan tidak mengagetkan. Kenapa saya harus capek memikirkan hal tersebut? Karena saya pernah mengalami perasaan kaget itu. Yaitu ketika saya disalip motor lain dengan kencang dan biasanya agak mepet. Saya harus menata hati untuk berpikiran positif bahwa dia sudah melakukan yang terbaik ketika menyalip saya.

Distorsi yang saya maksudkan adalah perbedaan perasaan antara sang penyalip dan yang disalip. Sang penyalip yakin bahwa motornya masuk dan pas untuk menyalip. Karena yang disalip tidak siap, mereka merasa kaget dan terpepet. Padahal bagi penyalip ini sudah jarak aman dan cukup jauh. Kalau saya sendiri biasa mencari titik tengahnya. Yaitu memberi kode kepada yang akan saya salip dengan mengurangi gas sedikit sehingga timbul suara greenngg baru saling. Atau cara kedua yaitu dengan menempatkan ban sepeda motor tepat di marka tengah jalan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi dan reaksi antara penyalip dan yang disalip dalam situasi salip-menyalip di jalan dapat bervariasi. Beberapa faktor yang mungkin memainkan peran adalah:

  1. Pengalaman dan keterampilan mengemudi: Pengemudi yang memiliki pengalaman dan keterampilan mengemudi yang lebih baik cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang batas-batas kecepatan dan jarak yang aman dalam situasi salip-menyalip. Mereka mungkin lebih percaya diri dalam melakukan manuver tersebut dan memiliki kemampuan untuk memperkirakan dengan lebih akurat seberapa dekat mereka dapat mendekati kendaraan lain.

  2. Perbedaan persepsi: Setiap individu memiliki persepsi yang unik terhadap situasi di jalan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor seperti kecepatan kendaraan, jarak pandang, kondisi jalan, dan faktor lingkungan lainnya. Penyalip mungkin memiliki persepsi yang berbeda tentang jarak dan kecepatan yang aman dibandingkan dengan yang disalip.

  3. Kesadaran dan perhatian: Tingkat kesadaran dan perhatian pengemudi juga dapat mempengaruhi reaksi mereka terhadap situasi salip-menyalip. Beberapa pengemudi mungkin lebih fokus pada tujuan mereka, seperti mencapai tujuan dengan cepat, sementara yang lain mungkin lebih memperhatikan kenyamanan dan keamanan diri sendiri serta pengemudi lain di sekitar mereka.

  4. Kondisi emosional: Kondisi emosional pengemudi juga dapat memainkan peran. Pengemudi yang merasa tergesa-gesa atau terintimidasi mungkin cenderung memiliki reaksi yang berbeda dalam situasi salip-menyalip. Selain itu, pengemudi yang pernah mengalami pengalaman negatif dalam salip-menyalip mungkin memiliki kecenderungan untuk lebih sensitif terhadap situasi tersebut.

  5. Komunikasi antar pengemudi: Kurangnya komunikasi verbal atau visual antara penyalip dan yang disalip dapat menyebabkan ketidakpahaman atau ketidakpastian dalam melakukan manuver salip-menyalip. Sinyal lampu, gerakan tangan, atau tindakan lain yang menunjukkan niat pengemudi untuk menyalip atau memberi ruang dapat membantu mengurangi ketegangan dan ketidakpastian dalam situasi tersebut.

Perbedaan persepsi dan reaksi dalam situasi salip-menyalip adalah hal yang umum terjadi di jalan raya. Penting bagi setiap pengemudi untuk tetap berhati-hati, mematuhi aturan lalu lintas, dan memperhatikan keselamatan diri sendiri serta pengemudi lain di sekitarnya.

Saya minggir dulu

Salah satu prinsip yang saya pegang ketika berkendara adalah memberi kesempatan kendaraan lain selagi memungkinkan. Maksudnya selagi memungkinkan bagaimana? Misalkan ada bolongan di pinggir tentu saya tidak akan memberikan jalan atau kesempatan bagi yang lain. Karena akan membahayakan saya atau kalau nauzubillah-nya saya jatuh tentu akan membahayakan pengendara yang lainnya. Saya lebih memilih untuk tambah kenceng melewati lubang jalan baru minggir pelan. Itu pemikiran yang sedang saya budayakan dan biasakan di diri saya.

Keinginan saya untuk memberi jalan yang lain membuat saya (sepertinya) lebih sering melihat spion daripada pengendara lain. Ketika ada mobil di spion saya yang lumayan kencang, saya sudah akan siap-siap untuk memberinya kode dan kesempatan untuk menyalip. Biasanya kode yang saya berikan adalah manuver ke kiri langsung setelah melihat spion. Di dalam pikiran saya, orang tersebut akan menyadari gerak-gerik saya dari spion. Yaitu melihat adanya mobil di belakangnya pas dan memberikan kesempatan untuk menyalip. Atau kalau saya lagi tidak ingin memberikan kesempatan saya pun juga akan memberikan kode. Kode yang biasa saya lakukan adalah memainkan gas. Saya membuat gas tidak stabil dan naik turun yang mana harapan saya adalah pengendara mobil tersebut menerima sinyal saya bahwa saya akan akselerasi.

Tetapi tentu komunikasi ini belum tentu berhasil. Saya perlu mengecek keadaan belakang saya menggunakan telinga saya. Apakah ada akselerasi di belakang? Apakah akan tetap disalip? Oleh karena itulah menurut saya berkendara itu harus paket lengkap. Kalau pun tidak paket lengkap, ya boleh-boleh saja berkendara, tapi dalam prinsip saya harus berkecepatan rendah dan di pinggir kiri.

Sebenarnya prinsip ini pun melatih saya untuk tidak tamak. Kenapa seperti itu? Misalkan ada orang lain, teman, atau kolega mendapatkan prestasi yang lebih tinggi daripada kita, tidak membuat kita sedih atau dengki. Iri boleh. Dengki tidak. Masih inget kan perbedaan iri dan dengki? Kalau ada orang yang lebih rajin dan lebih semangat dalam melakukan sesuatu, tentu harus saya beri semangat, beri jalan agar mendapatkan yang diinginkan. Walaupun mungkin keinginannya tersebut akan menghambat laju karir saya. Tidak masalah.

Karena ketika dia menyalip saya atau lebih jago daripada saya. Saya dapat melihatnya berkendara. Bagaimana cara akselerasi? Bagaimana cara dia memainkan stir supaya penumpang di mobilnya tidak mabuk? Walaupun mungkin tentu saya tidak bisa merasakannya 100 persen, karena saya tidak berada di mobil tersebut. Tentu kalau sedang lampu merah saya tidak akan terus di belakangnya. Kesempatan ini akan saya gunakan untuk menyalip. Bukan untuk menang balapan dari dia. Hanya untuk mengambil kesempatan yang belum diambil orang. Sehingga setiap orang akan dapat mengisi tempat dan bagiannya masing-masing. Itu kalau setiap orang bisa menerima ya. Ya idealnya. Apa salahnya saya mengharapkan yang baik? Katanya hasil sesuatu itu sesuai dengan prasangka awalnya.

Saya tidak belajar banyak

Saya beberapa hari yang lalu mengalami sebuah keadaan yang baru. Keadaan itu adalah saat di mana rasanya otak saya ini sudah mentok untuk berpikir. Saya tidak bisa memutuskan apakah saya baik melakukan A atau baiknya B. Rasanya otak ini ditarik ke kiri dan ke kanan. Seperti mengikuti ayunan namun terlalu kencang.

Sampai akhirnya saya berhenti berpikir dan membasuh muka. Tiba-tiba saja saya kepikiran untuk "Mari tidak usah berpikir". Saya hanya menasehati otak saya walaupun ego saya terus memaksa untuk terus berpikir. Solusi saya yang tanpa mikir adalah mari menyebut asma Allah dan biarkan kaki ini berjalan berdasarkan lilin kecilnya.

Saya menyerah berpikir dan takut kalau pembuluh darah saya ini pecah. Saya hanya terus beristigfar dan melakukan kegiatan yang harus saya lakukan tanpa memikirkan pilihan A dan B lagi. Melakukan rutinitas ini dapat melalaikan saya terhadap masalah tadi. Ini secara tidak langsung membuat saya harus mengambil keputusan B karena pintu untuk keputusan A sudah tertutup. Inilah akhir dari kebimbangan saya.

Saya pun tidak tahu apakah B ini merupakan pilihan terbaik. Hanya satu keyakinan saya adalah saya harus 100 persen dalam melakukan sesuatu. Jadi tidak ada rasa kecewa karena tidak memilih A. Rasa yang hadir adalah bagaimana melakukan yang terbaik dalam pilihan B.

Hal ini bagi saya merupakan sebuah pertanda bahwa mungkin saya jago matematika (dulu), saya juara matematika (dulu). Namun saya belum belajar banyak. Banyak ilmu kehidupan yang harus saya pelajari.

Saya suka kuning polos

Sebelum saya banyak cerita tentang warna dan motif pakaian, perlu saya utarakan bahwa saya menderita buta warna parsial (sebagian). Buta warna ini membuat saya tidak bisa melihat angka-angka dalam yang tersusun dalam pola warna di lingkaran. Ini juga membuat saya tidak bisa membedakan warna-warna yang dekat pada hijau-kuning-coklat. Untungnya dari RGB (Red Green Blue) saya tahu Red dan Blue nya, yaitu merah dan biru.

Mengapa harus saya statement di awal? Karena selanjutnya saya akan menulis tentang warna menurut persepsi saya. Tulisan ini saya ketik ketika saya selesai mengambil celana pendek di dalam almari. Celana pendek yang saya ambil berwarna krem (atau kecoklatan gitu) polos. Di bawah celana pendek ini, ada celana pendek lain berwarna hitam dan bermotif tengkorak.

Dua celana pendek ini bagi saya memiliki sifat dan kedudukan yang berbeda. Kalau celana pendek krem polos ini menunjukkan casual yang santai dan pantas untuk dipakai di luar rumah. Sedangkan celana pendek berwarna hitam dan bermotif tengkorak ini bersifat tidak dapat dipakai di luar rumah karena dilihat itu seperti boxer.

Di berbagai kasus, saya mengamati bahwa warna dan motif itu menentukan berbagai hal. Contohnya adalah banyak dibilang warna pink itu identik dengan warna kaum hawa sedangkan hitam itu sebaliknya adalah warna kaum adam. Setelah itu motif bunga itu untuk perempuan. Warna ungu untuk para janda. Saya pikir masih banyak yang lain ya contoh-contoh bahwa warna dan motif akan menentukan penggunanya.

Walaupun dalam beberapa kasus saya sering melawan paradigma mainstream ini ya. Hal ini dikarenakan kasus-kasus darurat. Contohnya saya dikasih baju batik pink dalam sebuah perlombaan. Saya senang betul batik ini karena motifnya. Maka saya lebih memilih memakai baju ini karena batiknya timbang tidak memakai baju ini karena warnanya pink.

Saya harus cepat adaptasi

Hari ini saya mengendarai Honda Beat 125 yang biasa dipakai oleh ibu. Saya pakai motor beat ini karena sepeda motor kesayangan saya yaitu My Honda Supra 125 sedang mati platnya. Saya belum bisa mengurus ganti platnya karena kejadian ini pas banget bersamaan dengan hilangnya KTP saya beberapa hari yang lalu. Jadi agak telat platnya. Saya diamkan di rumah dulu supra saya. Semoga KTP saya bisa segera selesai. Karena tanggal 14 Juli adalah batas tenggat akhir pemutihan yang digalakkan oleh Ibu Gubernur Khofifah.

Beat yang saya kendarai hari ini tipis bannya agaknya. Ini saya rasakan waktu tikungan di Desa Kerjo. Saya tidak bisa menikung dengan sempurna. Sempat ugil sebentar. Agak kaget waktu itu. Tapi saya masih bisa mempertahankan kendali. Situasi jalan memang agak basah serta ada sedikit lumpur di pinggir jalan. Saat itu saya masih agak ragu apakah kejadian ini sepenuhnya karena ban saya yang tipis atau memang karena licinnya jalan yang saya lalui. Mulailah dalam pikiran saya mencoba memperhatikan dengan baik laju kendaraan saya.

Saya coba berjalan zigzag, rasanya masih aman. Saya coba percepat laju. Saya rasa masih tidak ada kendala berarti. Masih berani selap-selip diantara truk. Saya coba naik ke pembatas tengah (marka) jalan. Nah ini baru tidak aman menurut saya. Tidak seperti supra saya yang terbiasa naik marka. Beat ini kurang stabil untuk diajak naik marka. Di sinilah saya menemukan batas maksimum kemampuan beat. Di sini saya menemukan perbedaan antara beat dan supra.

Begitu lah kehidupan, selalu ada hal lama yang mungkin pergi. Entah itu selamanya atau sementara. Selanjutnya mereka digantikan dengan yang baru. Saya berinteraksi dengan 'mereka' pun juga harus mempelajari, mengerti, dan memahami masing-masing. Karena setiap mereka adalah berbeda. Tidak ada yang benar-benar sama. Betul sekali, hadits Nabi saya yang mengatakan bahwa setiap insan manusia itu wajib menuntut ilmu dari orok hingga liang lahat. Setiap insan manusia belajar memahami lingkungannya.

Saya bukan ikan koi

Saya dua minggu kemarin membeli ikan koi seharga 10 ribu rupiah. Tak dikira dan tak dinyangka ternyata saya mendapatkan ikan sebanyak 16 buah. Ikan koi ini biasa disebut ikan koi pakan. Biasa disebut ikan koi pakan karena ikan koi ini sering diberikan kepada ikan lainnya untuk sumber makanan mereka. Biasanya diberikan kepada ikan arwana atau bisa juga yang sekarang lagi populer yaitu ikan channa.

Awalnya saya tidak berpikiran seperti itu. Semuanya ingin saya pelihara dengan baik. Saya senang lihat warnanya yang berwarna-warni. Saya ingat ada warna kuning polos, ada yang kuning campur hitam dan abu-abu, ada yang putih dan abu-abu, serta ada juga yang berwarna seperti ikan koi mahal yaitu ada oren-oren dan putih bersih (susu).

Selang tiga hari, ternyata satu persatu ikan koi saya ini mati. Mengambang di permukaan air. Ada juga yang pusing terbawa arus air. Saya berusaha mengamati apa yang sedang terjadi pada ikan ini. Apakah ini adalah ikan yang sedang main-main dengan arus kecil air? Ataukah ini adalah ikan yang sudah tidak kuat melawan arus kecil lagi? Atau ikan ini sedang nge-fly?

Selain ikan koi ini saya juga memelihara beberapa ikan lele dan ikan channa. Alhasil ikan koi yang mati ini pun saya berikan kepada lele di hari pertama. Di hari kedua ikan koi saya mati, saya ambil sebelum meninggal. Masih bergerak. Namun gerakannya sayang sekali hanya untuk menghindari tangan saya. Tidak untuk bertahan hidup lebih lama saya rasa. Saya gagal sebagai pemelihara koi.

Beberapa upaya saya coba lakukan yang salah satunya adalah memberi sedikit garam ke akuarium. Katanya supaya kotoran ikan ini tidak meracuni tuannya sendiri. Selang 1 hari dari pemberian garam, masih ada lagi yang meninggal. Malah jadi dua yang meninggal. Saya akhirnya berpikiran ini jangan-jangan karena garamnya kebanyakan. Saya kuras setengah dan tambahi dengan air biasa. Tetap saja besoknya ada yang mati lagi. Di sinilah saya mulai berpikiran untuk memberikan ikan-ikan ini kepada channa pulcra dan channa limbata saya.

Saya meminta maaf kepada ikan koi saya yang harus mati karena kekurangan ilmu "pemeliharanya".

Saya bukan pengendara tronton Semarang

Ketika melihat kejadian kecelakaan kereta api di Semarang pada tanggal 1 Muharram 1445H atau Juli 2023 lalu perasaan saya sangat heran bisa-bisanya mobil truk sebesar tronton dapat terjebak di rel kereta api yang berpalang pintu. Usut punya usut, ternyata kronologi kejadian itu menjelaskan pada saya betapa memaksanya supir tronton ingin masuk jalur rel ketika bunyi sirene sudah mengudara.

Saat sirene sudah berbunyi tetapi palang pintunya belum tertutup, tronton tersebut memasukkan badannya ke rel kereta api. Kalau tidak segera keluar dari jalur rel jelas ini akan membingungkan petugas palang pintu perlintasan. Karena mereka harus menahan palang pintu supaya tidak mengenai tubuh truk. Langsung muncul di benak saya, mosok ini supir truk tonton ga memikirkan betapa lamanya dia melewati rel. Tidak memikirkan betapa panjangnya tubuh truk yang dibawanya. Lebih naas dari itu, ternyata mesin truk tersebut mati saat melintasi rel kereta api. Alhasil supirnya pun bingung dan lari agar selamat dari tumbukan kereta api.

Saya sangat bersyukur meilhat kejadian tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Kelalaian satu orang tidak merugikan kehilangan nyawa bagi orang lain. Walaupun jelas dalam hitungan PT KAI mereka rugi ratusan juta bahkan milyaran rupiah karena rusaknya rel dan rusaknya lokomotif kereta yang menabrak truk. Terus dalam pikiran saya menyalahkan supir truk tronton yang tidak panjang pikir.

Namun ternyata kejadian itu pastilah sangat cepat. Saya dapat simpulkan ini. Untuk pertama kalinya saya melintasi rel kereta api di Ngunut Tulungagung saat sirene sudah berbunyi tapi palang pintu belum menutup. Kejadian ini benar-benar sangat cepat. Ketika saya berkendara motor dalam kecepatan sekitar 70 km per jam tiba-tiba sirene berbunyi. Situasi malam itu sedang sepi dan saya merasa tidak benar-benar siap untuk mengerem. Tidak ada motor atau mobil yang berhenti di depan saya. Pengambilan keputusan yang cepat itu mengarahkan saya untuk langsung bablas tidak usah nunggu kereta api lewat.

Ya saya berhasil melewati rel dan palang pintu perlintasan rel dengan selamat. Langsung saya pun teringat kejadian Semarang di tahun baru Hijriyah di atas. Di sini, di satu sisi saya sudah sesuai dengan pemikiran saya bahwa kalau hanya motor yang melintas saat sirene bunyi itu masih oke selama palang pintu belum menutup. Karena dengan tubuh kecilnya motor tersebut dapat nyelip-nyelip supaya tidak tertubruk kereta. Namun di sisi lain, saya juga menyadari betapa cepatnya saya ambil keputusan ini kira-kira sama saja dengan betapa cepat supir truk tronton di atas mengambil kesimpulan.

Saya akan terus bernyanyi

Beberapa bulan ini saya mengalami mual setelah masuk ke kamar mandi. Paling parah yaitu ketika saya menyikat gigi. Sekedar informasi saja bahwa semenjak saya memeriksakan gigi ke RSG Unpad Sekeloa Bandung, saya melakukannya dengan tiga langkah. Langkah pertama adalah menggosok depan. Kedua, menggosok belakang dan untuk ketiga menggosok bawah gigi. Setelah itu saya akan berkumur-kumur. Nah paling parah ini ya saat ini. Pasti pas kumur-kumur rasanya sangat pengen muntah. Entah kenapa, saking parahnya saya pernah sekali memutuskan untuk sikat gigi di kantor daripada pengen muntah di rumah.

Rasa mual ini kadang sering muncul juga saat buang air besar. Mungkin karena terlalu lama berada di air kali ya. Terlalu lama di kamar mandi. Saat ini saya sedang mencuci baju. Sepertinya tiga hari saya tidak cuci baju. Jadi ini lumayan numpuk. Lumayan banyak. Saya melakukan pengucekan ini menggunakan trik tertentu. Trik ini saya lakukan untuk mencegah perasaan mual. Saya terus bernyanyi sambil ngucek.

Trik ini cukup berhasil. Sampai akhir masa pengucekan saya tidak merasakan mual yang berarti. Cuci baju kali ini terlewati dengan baik. Sebenarnya trik ini telah banyak saya lakukan dari dulu. Dari sejak SD bahkan saya sudah melakukannya. Saya menutupi rasa sakit dan menghilangkan rasa sakit dengan pengalih perhatian.

Contohnya saat saya ingin mengikuti lomba lompat jauh. Saya cedera waktu melakukan latihan. Saya alihkan fokus saya untuk belajar matematika dan beralih mengikuti lomba matematika. Ini terjadi saat saya berada di kelas 5 SD.

Contoh lagi saat saya diejek. Alih-alih saya merasakan sakitnya diejek. Saya akan merendahkan diri saya serendah-rendahnya sehingga orang lain pun tak bisa lagi merendahkan saya. Ini biasa terjadi di komunitas olimpiade. Memang beberapa orang mungkin kalau sekarang dapat dikategorikan sebagai EQ rendah. Suka mengejek dengan cara-cara tajam. Di momen ini mental harus siap dan menyadari posisi. Sehingga saya dapat atur posisi yang lebih rendah lagi tapi pede dengan keyakinan besar suatu saat ini saya akan lebih baik dari ini.

Atau ketika bertengkar, fight, atau berkelahi, eh yang ini jangan. Mahal. Hehe.

Aspirin sebagai pereda nyeri. Dia mematikan sebagian fungsi saraf agar peminumnya tidak merasakan sakit. Hampir semua kerja obat sebetulnya seperti itu.

Sakit adalah perasaan jasmani. Anda masih hidup untuk jasmani atau untuk sesuatu yang lebih?

Saya menjauhi perasaan ragu-ragu

Ketika pertama kali datang untuk menonton karnaval dari dinas-dinas yang ada di Kabupaten Trenggalek beserta komunitas umum lainnya, saya langsung menuju ke sekitar Masjid Al Askar, Surondakan, Trenggalek. Motif utama adalah agar dapat memperoleh akses sholat dhuhur dengan mudah. Satu hal yang pasti hari ini adalah melakukan sholat dhuhur di luar rumah. Karnaval ini dimulai dari jam 9 pagi dan kemungkinan besar akan berakhir di sore hari atau bahkan malam hari.

Saya parkir di warung kopi depan Masjid Al Askar. Saya agak lupa namanya. Walau warung kopinya sepi, minimal parkiran rame untuk hari ini. Penuh sekali di depan masjid pas, saya tidak bisa masuk masjid untuk parkir. Sudah penuh dengan masyarakat Trenggalek yang antusias menggelar tikar di depan masjid. Waktu perjalanan ke sana pun saya sudah melihat berbagai sudut penuh sesak dengan orang. Tanpa pikir panjang saya dan keluarga pun menggelar tikar di sekitar masjid. Nah setelah ini perasaan ini dimulai sebenarnya.

Ketika saya pertama kali menggelar tikar, saya ragu-ragu dengan tempatnya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah tempat ini akan cukup nyaman untuk melihat karnaval sampai sore nanti. Ataukah akan sangat panas? Oke saya pun berkeliling di sekitar masjid untuk melihat situasi.

Hasilnya saya mendapati bahwa di sekitar masjid ini sudah penuh dengan orang. Bahkan orang pun masih terus berdatangan untuk melihat karnaval ini. Memang karnaval ini merupakan karnaval terakhir di Trenggalek. Tidak hanya di kecamatan kota, tetapi di seluruh kecamatan yang ada di Trenggalek telah menyudahi semua parade dan festival di kecamatan masing-masing.

Inilah yang membuat saya tidak ragu kembali bahwa keputusan menggelar tikar di sekitar masjid tadi sudah merupakan yang terbaik. Selanjutnya tidak beberapa lama, adik saya datang dan menawari untuk pindah ke barat agar lebih teduh. Sepakat satu keluarga pengen lebih teduh, namun melihat di perjalan tadi rasanya sudah penuh semua. Akhirnya kami meminta adik untuk berkeliling dengan harapan ada tempat yang bisa kami tempati.

Selang sekitar 30 menit, akhirnya adik saya memberi kabar bahwa ada tempat kosong di depan SDN 2 Surondakan. Kami pun bergegas ke sana. Ternyata di sana, kami tidak sepenuhnya direstui untuk menggelar tikar di sana. Ada beberapa orang yang meminta kami tidak menggelar tikar karena takut lapaknya yang di belakang kami menjadi tertutup dan tidak ada pembeli. Akhirnya kami pun izin untuk menggelar tikar hanya setengah bagian.

Dari keseluruhan proses ini saya meyakini bahwa tidak sepatutnya saya ragu-ragu ketika mengambil pilihan. Pilihlah pilihan tersebut dan pegang bahkan genggam dengan erat. Ketika ada opsi lain dengan argumentasi logis datang, berikan otak kesempatan untuk berpikir dan memutuskan kembali. Selanjutnya berulang, setelah diputuskan jangan lagi ada kata ragu. Yakini dan kerjakan dengan maksimal, sampai muncul opsi lain yang belum terpikirkan sebelumnya.

Saya tinggal di Bumi

Langsung saja saya akan mengatakan dalam tulisan saya kali ini bahwa ada kelemahan atau kekurangan akut dari seseorang yang 'terlalu' pandai. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa dengan kosakata efektif dan efisien. Mereka bekerja dengan baik (dan mempunyai efek). Mereka juga terbiasa bekerja dengan tepat dan cermat. Bekerja dengan lebih cepat dan tidak membuang-buang waktu.

Selanjutnya berarti apa kekurangan atau kelemahannya? Bukankah yang disebutkan di atas semuanya adalah sebuah kelebihan? Kekurangan baru akan terlihat dan muncul ketika mereka-mereka ini mempunyai asumsi. Mereka mempunyai pemahaman. Mereka mempunyai pandangan. Bahwa semua orang bisa bekerja dan bertindak sebagus dan secepat mereka. Inilah awal mula kelemahan itu muncul.

Ketika mereka terbiasa memandang orang lain harus bisa seperti mereka, maka mereka akan lebih mudah marah dan menyalahkan orang lain. Walaupun keinginan mereka untuk membuat orang lain itu bisa melakukan pekerjaan dengan efektif dan efisien itu suatu kemuliaan, namun cara untuk mewujudkannya tidak bisa dengan hanya melakukan pressure kepada orang-orang tersebut.

Di sinilah muncul sebuah kata bijak yang menurut saya benar adanya. Pelajaran yang terbaik adalah ke-suritauladan-an. Ketauladanan yang saya maksud di sini tidak hanya mengenai pekerjaan tersebut. Tapi jauh lebih baik jika ketauladanan dimunculkan dari prosesnya. Tidak berorientasi pada hasil yang instan, tapi lebih mengarah pada pembiasaan.

Kata bijak yang lain sebagai seseorang yang telah sukses dalam bekerja efektif dan efisien adalah walaupun kita bisa terbang di langit tapi kita tetap tinggal di Bumi. Ini saya artikan bahwa sepandai apapun kemampuan seseorang maka lingkungannya tentu bisa saja mempunyai tingkat kecerdasan berbeda dengan dirinya. Daan untuk seseorang yang bekerja dengan orang yang lebih cekatan dan lebih ringkas pekerjaannya wajib untuk mendekatinya dan belajar darinya.

Saya seorang netizen Indonesia

Indonesia melawan Uzbekistan pada cabang olahraga sepak bola Asian Games Huangzhou China merupakan laga yang berkobar-kobar bagi kami bangsa Indonesia. Entah mengapa walaupun medali yang diperebutkan hanyalah sebuah medali. Bandingkan misal dengan cabang olahraga bulutangkis, maka ada 5 medali yang dapat dimenangkan. Apalagi cabang olahraga renang, ada berapa banyak itu medali yang bisa diraih?

Beberapa kesempatan terlihat bahwa Indonesia diuntungkan dengan beberapa keputusan wasit. Keputusan wasit yang menguntungkan ini paling banyak terkait dengan pelanggaran di dalam lapangan. Mungkin tubuh bangsa kita yang mungil kali ya, jadi jatuh-jatuh mulu disenggol dikit.

Saya berharap mendapatkan sinarnya

Beberapa hari ini mata saya saat dalam perjalanan terpaut kepada beberapa perempuan. Perempuan-perempuan ini tiba-tiba mengalikan pandangan saya dari jalan. Kejadian ini selalu terjadi di pagi hari. Saya melakukan observasi. Saya amati dan perhatikan dengan baik. Pertanyaan besarnya adalah mengapa wanita atau perempuan ini memikat perhatian saya untuk sementar.

Sementara ini kesimpulan saya mengarah pada sudut yang tepat antara matahari dan arah gerak wanita tersebut. Kalau saya perhatikan, sebenarnya perempuan-perempuan ini tidak begitu mulus. Atau kalau dibilang mulus seperti semacam kalimat bullying. Gampangnya tidak begitu cantiklah.

Tentunya peran sudut, sinar, dan arah ini menjadi semakin terlihat. Bagaimana sudut, sinar, dan arah yang pas dan tepat akan menjadikan seseorang terlihat glowing dalam istilah anak-anak sekarang. Bersinar dalam porsi tepat menjadikannya begitu menarik.

Ketiga komponen ini harus diperhitungkan secara matang untuk selalu kelihatan glowing. Selalu mempunyai kharisma yang agung dalam setiap kesempatan. Namun kharisma ini sendiri juga tentu memunculkan tanggung jawab tersendiri bagi orangnya.

Saya menyalakan sein untuk meminta jalan

Saya beberapa hari ini heran melihat ada sepeda motor mengambil ruas jalan orang lain (dengan kencang) sambil menyalakan sein. Di satu sisi mungkin sudah cukup bagus ya dia sudah mau kasih aba-aba ke kendaraan di depannya bahwa dia mau nyalip. Di sisi yang lain, kok tapi tiba-tiba masuk dan memaksa kendaraan di depannya untuk memberi jalan.

Saya di sini menjadi banyak berpikir, apakah ini lebih banyak baiknya atau lebih banyak buruknya. Iya walaupun sudah minta izin, tapi kok seakan memaksa. Iya kalau jalan lebar ini bisa dipilih semua. Kadang juga harus milih jalan. Penyebabnya adalah jalan yang berlubang atau jalan yang bergelombang. Ada banyak yang mungkin jadi sebabnya.

Jadi ada banyak kewajaran seseorang di depan itu tidak memberikan jalan bagi yang menyalakan lampu sein. Selain itu semua, kan jalan sudah dibagi dua ya, mengapa masih saja makan bagian tetangga. Bayangkan saja ketika tetangga (si A) mau punya hajatan, mau pinjam halaman tetangga (si B). Anggaplah si A sudah menyalakan lampu sein, sudah minta izin. Kalau tetangga B menolak apakah si A boleh melakukan pemaksaan. Tetap pakai halaman rumahnya atau mungkin tetap mengadakan hajatan dan menutup akses tetangga B.

Menurut hemat saya, komunikasi menjadi kunci. Saling memahami satu sama lain akan menjadi nilai tambah. Jangan hanya maunya sendiri. Memaksa orang lain. Iya mungkin kendaraan yang di depan akan tetap mengalah untuk menghindari tabrakan yang lebih parah walau dia masuk ke lobang jalan. Alangkah baiknya tunggu sebentar sampai lubang lewat, baru si B minggir dan si A makan jalan.

Saya tidak sedang mengikuti

Suatu saat saya kepikiran tentang ini. Tepatnya saat saya berada pada di belakang sebuah truk. Lokasi tepatnya adalah di tikungan Warung Asem Durenan Trenggalek. Kejadian-kejadian seperti ini sering terjadi. Tiba-tiba kepikiran sesuatu di jalan.

Mungkin kalau dilihat dari belakang terlihat saya aneh karena sedang mengikuti truk di belakangnya. Padahal dengan sangat mudah saya bisa mendahuluinya. Apalagi kalau seseorang yang melihat saya ini tidak mengikuti saya lama atau hanya ngebut sesaat.

Sejatinya saya tidak sedang mengikuti truk. Saya hanya berpikir bahwa saya harus memelankan kendaraan. Jalan di tikungan terkenal berombak. Ini dulu ya. Sekarang sih sudah alus jaya. Juga saya harus minggir aja karena ada beberapa lubang. Jadi amannya saya tetap di belakang truk saja pendeknya.

Nah ini yang tiba-tiba muncul di pikiran saya. Mungkin saja saya sedang mengamati melihat para kyai sedang mengikuti politikus tertentu. Ini mungkin karena saya tidak lama mengikuti beliau sehingga yang terlihat hanyalah perilaku beliau mengikuti politikus tertentu.

Yang sebenarnya terjadi? Mungkin saja seperti saya pada kasus ini. Mungkin.

Saya ga paham dengan bapak ini

Waktu itu lampu lintas menunjukkan warna merah. Saya sudah paling depan itu. Sudah mepet juga dengan zebra cross penyebrangan. Saya dari arah barat pertigaan lampur merah. Tiba-tiba di kanan saya, bapak ini lewat. Saya pikir mau berhenti samping saya. Eh tibabknya kok bablas.

Orang-orang dari arah selatan lampu lalu lintas pun kebingungan dengan aksi bapak ini. Mereka lagi menikmati lampu hijau padahal. Bapak ini berhenti jauh di depan zebra cross dan celingak celinguk. Saya pun terus mengamati bapak ini.

Bapak ini jelas mau belok kanan. Tapi masak sih bapak ini ga sesabar itu nunggu sebentar agar lampu hijau dulu. Rasanya raut muka bapak ini bukan ODGJ. Masih terus saya amati.

Eh setelah lampu dari arah selatan merah alias lampu kita sudah hijau ternyata bapak ini mau belok kanan tapi ambil jalur kiri jalur dari selatan. Sungguh mindblowing bapak ini. Di luar Nayla.

Saya menghadiri wisuda adek

Perasaan saya hari ini bercampur aduk. Ada perasaan bangga, rasa senang, sekaligus rasa sedih. Moment ini berjudul bahagia. Wisuda adek. Namun wiisuda ini terasa kurang. Ketidakhadiran almarhum ayah pada wisuda ini membuat wisuda ini terasa kurang.

Ayah dan Ibuk yang hanya merupakan lulusan sekolah setingkat menengah atas. Mereka berdua dapat membesarkan saya dan adek sehingga keduanya mendapatkan gelar sarjana. Bahkan saya bergelar magister sekarang.

Walaupun kita berdua tidak menghabiskan uang orang tua untuk kuliah. Banyak menghabiskan uang negara untuk kuliah. Tapi perlu digarisbawahi ini tak akan terjadi tanpa dukungan kedua orang tua. Saya banyak melihat fenomena dari masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang berkebalikan dengan keadaan saya.

Tidak sedikit juga orang tua yang membebani kehidupan keluarganya kepada ananknya. Sebagai contoh adalah ucapan kamu harus bekerja dulu nak untuk membantu biaya sekolah adik-adikmu. Puji Tuhan, rasa syukur ini tak pernah henti, karena saya sama sekali tidak diberi beban ini oleh orang tua.

Orang tua saya adalah tipikal orang tua yang dapat menjadi teladan. Adek saya dan saya tumbuh dengan penuh kesederhanaan. Kita tidak pernah meminta apa yang tidak ada. Kita tidak pernah beli apa yang tidak kuat kita beli. Tidak ada kamus utang dalam kehidupan keluarga.

Pola pola inilah yang membuat saya dan adek dapat bertahan dalam guncangan gengsi dan gaya hidup. Persetan dengan mereka. Kita bebas sebagai manusia. Kita hanya perlu rapi tidak perlu bermerek. Fungsi jauh lebih penting daripada sekedar gengsi.

Saya ingat sekali saya pernah dimarahi karena tidak bersih saat menyapu. Kata almarhum, ingat fungsi menyapu itu untuk membersihkan. Betapa fungsi didewakan oleh orang tua saya. Jauh lebih baik Supra yang full tank daripada Nmax yang tidak berisi.

Saya bertemu penguasa lokal

Dua hari ini rasanya sangat menjengkelkan. Iya ya. Sepertinya ini perasaan jengkel. Dua kalimat ini adalah pembuka bagi tulisan yang akan saya tulis beberapa minggu lalu. Tidak sempat saya melanjutkan tulisannya. Hari ini akan coba saya lanjutkan.

Dua kalimat awal tadi agaknya kurang tepat karena dalam beberapa minggu ini saya banyak sekali menemui penguasa lokal. Siapakah penguasa lokal yang saya maksud? Mereka adalah para bandar saham. Tidak bisa disebut mafia karena akan jadi berkonotasi lebih negatif. Mereka adalah bandar.

Bandar saham ini berperan sangat lihai dalam membuat harga saham sesuai keinginan mereka. Bisa jadi betul bandar saham adalah perusahaan itu sendiri tapi tidaklah mustahil juga, mereka adalah orang di luar perusahaan. Saya menemui mereka saat mempraktikkan teknik-teknik trading saham yang saya pelajari dari video video short.😆

Jelas sekali terlihat peran bandar dalam membuat harga saham. Saya menemui mereka dari permainan orderbook saham WEGE, WTON, AVIA, dan MPXL. Mereka punya banyak sekali lot saham sehingga dapat membuat harga. Menurut analisis saya, empat saham tersebut sudah waktunya naik. Melihat orderbook, ketika harga saham melewati angka tertentu maka secara tiba-tiba di orderbook muncul lot yang sangat banyak untuk harga yang mereka tentukan.

Akibatnya, ritel tidak bisa merasakan harga naik dan menarik profit dari swing trading maupun day trading. Nyangkutnya sangat lama. Berminggu-minggu. Sampai tulisan ini saya buat saya belum bisa lolos dari dua saham di atas dengan kerugian kurang dari 100rb. Hehe uang kecil sih dibandingkan dengan yang main saham-saham itu.

Bandar juga memperparah dengan memainkan perasaan ritel. Caranya adalah fake order pada bagian bid sehingga seakan-akan harga akan naik karena permintaan banyak tapi penawaran sedikit. Sesuai hukum supply and demand. Akhirnya ritel masuk, dan dipermainkan lebih dalam oleh bandar tersebut. Ritel yang malas, pasti langsung jual rugi sahamnya. Sehingga bandar bisa beli murah lalu jual di harga yang hanya naik 1 atau 2 angka saja.

Mungkin bandar memperlakukan saya dan para trader yang lain seperti itu supaya kapok tidak trading lagi. Seharusnya yang dilakukan adalah investing, memberikan suntikan modal kepada perusahaan untuk digunakan menjadi proses dan memperbesar nilai perusahaan sebagai proses jangka panjang. Iya itu sisi positif bandar. Semoga ya para bandar berpikiran seperti itu.

Saya terus berkembang

Pertanyaan mendasar yang mendasari saya menulis ini adalah apakah saya sedang berkembang atau saya tidak pernah puas? Tahukah kalian bedanya?

Bagi saya mereka berdua hampir sama namun jelas berbeda. Tidak pernah puas bagi saya adalah salah satu sebab untuk berkembang. Namun hal itu bukan merupakan sebab 100 persen.

Jadi kalau dari urutan kronologisnya, di saya yang muncul pertama adalah tidak puas lalu selanjutnya adalah saya harus berkembang. Perasaan tidak puas muncul segera setelah kegiatan terjadi.

Hal-hal destruktif dapat muncul pada state atau keadaan tidak puas ini. Tidak puas dapat menuju stres dan selanjutnya menuju hal hal yang lebih buruk jika tidak bisa dikendalikan dengan baik. Bahkan bisa berakibat hilangnya nyawa seseorang tersebut.

Dari semua hal itu saya sangat yakin bahwa betul apa kata perempuan itu. What doesnt kill you make you stronger. Saya mengartikannya sebagai asalkan kita tidak mati pasti kita dapat berkembang. Tapi limit seseorang siapa yang tahu.

Jika perasaan tidak puas itu tidak sedalam itu, maka efeknya pun terhadap perkembangan juga akan berbeda. Perkembangan yang triggernya kurang, hanya akan memantik api kecil yang sama sekali tidak berkobar. Oleh karena itu mengenali limit dan mengenal diri sendiri selalu menjadi sangat penting.

Saya merasakan suasana batas negara

Rasanya mustahil saya akan kesini dengan biaya pribadi. Terimakasih Tuhan, saya diundang sebagai narasumber pelatihan OSN di MAN IC Sambas, Kalimantan Barat. Langsung tanpa pikir panjang saya iyakan permintaan tersebut. Walaupun ada tawaran juga dari MAN IC Padang Pariaman, Sumatera Barat dan MAN IC Paser, Kalimantan Timur, namun saya tetapkan Sambas menjadi satu-satunya pilihan. Tidak enak mau izin lama-lama. Hehe

Saya ajukan surat tugas sebagai salah satu unsur pengabdian profesi saya semenjak surat itu datang. Sudah disetujui oleh Dekan dan ternyata sayang sekali bertabrakan dengan jadwal Raker fakultas. Di satu sisi saya sangat bersenang hati dapat melihat daerah terluar Indonesia tapi di sisi lain sayang sekali saya tidak dapat ikut beramai-ramai menikmati suasana Bromo bersama civitas akademika FEBI.

Saya benar-benar tidak mau berekspektasi dengan Sambas. Saya hanya ingin merasakan dan menjiwai Sambas. Jaraknya saja 6 jam perjalanan darat dari Pontianak. Itu pun sudah ditempuh menggunakan kecepatan travel Kalimantan.😁

Saya berhenti di sebuah rumah makan di atas sungai dalam perjalanan saya menuju Sambas. Bumbu ikan bakar dan udangnya sangat kerasa dan tidak pelit bumbu. Suguhan pertama yang sangat menarik hati sambil digoyang alunan air sungai. Literally bergoyang-goyang jika ada yang sedang jalan. Hehe

Kami sampai sekolah, sekitar pukul 12 malam dan langsung tidur. Barulah keesokan harinya sesuatu yang baru harus bisa saya adaptasi. Kebaruan itu adalah warna air di bak mandi. Warnanya kecoklatan dan alhamdulillah tidak berbau. Gampang menyiasatinya, mandi dengan merem. Bisa dibayangkan jika ini berbau, mungkin lebih susah lagi adaptasinya.

Setelah paginya di kelas bertanya kepada anak-anak, ternyata memang sebagian besar orang Sambas mengambil air sungai untuk diolah dan dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Malamnya pun saya ngopi di luar bersama pengajar laki-laki yang lain. Kami pun teringat bahwa kamar mandi di rumah makan yang bumbunya sangat enak kemarin juga berair kecoklatan. Hal ini semakin memperkuat pernyataan siswa tadi pagi.

Besoknya sore hari saya agendakan untuk menikmati anak sungai Kapuas. Saya memberanikan diri untuk naik kapal. Walaupun gemetaran, tidak bisa berenang, dan takut buaya, tapi keingintahuan terhadap kehidupan pinggir sungai memberanikan saya. Sekitar 30 menit saya menikmati suara mesin kapal beserta riuhnya air yang disibak. Berpapasan dengan beberapa orang yang latihan lomba dayung. Berpapasan juga dengan berberapa orang yang mancing. Lebih banyak lagi berpapasan dengan anak anak yang nyebur main di sungai.

Seharusnya ini akan menjadi sunset terindah dalam umur saya, tapi sayang sekali hujan turun. Melihat sunset dari sebuah kapal kecil. Rasanya begitu senja. Tapi apa daya alam berkata lain. Akhirnya kami pun masuk bergeser ke belakang agar tertutup oleh atap kapal.

Di hari terakhir kami di Sambas, kami diajak oleh sekolah untuk menengok perbatasan antara Malaysia dan Indonesia di Aruk, Sambas. Saya pikir perbatasan ini hanya akan sebuah tugu terus foto terus balik. Di luar ekspektasi, ternyata PLBN Aruk ini sangat megah. Ada wismanya, ada rest areanya, bahkan ada masjid dan gereja. Kami masuk menjelajahi sampai batas wilayah netral. Waktu di sana, sempat ada dua keluarga berjalan dari Malaysia menuju Indonesia. Beberapa dari kami bahkan sempat berbicara dengan tentara Malaysia.

Letak PLBN ini benar-benar berada di atas gunung. Pemandangan dan kabutnya sangat nagih. Jarak antara Sambas dan PLBN ini adalah dua jam perjalanan, 1/3 perjalanan dari Sambas ke Pontianak. Jadi lumrah jika di sini banyak barang Malaysia diperjualbelikan.

Saya bersyukur dipertemukan

Beberapa hari kemarin saya baru saja pulang dari Pulau Kalimantan. Pulau ini menyimpan warna tersendiri bagi saya. Saya hanya bisa membayangkan saja karena tidak pernah ke sini selama hidup saya hingga lulus S2. Eh ternyata sekarang saya telah 3 kali menjejakkan kaki di tanah Dayak ini.

Dua urusan pertama tidak berhubungan dengan olimpiade matematika. Lebih tepatnya, pertama, saya harus konsolidasi terkait pelaksanaan seleksi pendamping desa dari Kementerian Desa yang dilaksanakan di Universitas Mulawarman. Acara kedua saya mewakili salah satu jurnal FEBI yaitu Reinforce untuk diskusi peningkatan akreditasi jurnal di kalangan AFEBIS. Nah baru ketiga kalinya ini murni untuk olimpiade. Tentu ini sangat nostalgia sekaligus naturalnya saya.

Titel yang menempel di nama sekolah ini sangat prestise yaitu MAN Insan Cendekia. Tentu hampir semua anak olimpiade telah memperhitungkan MAN IC Serpong sebagai lawan yang tangguh di olimpiade. Sekarang semangat dan kesuksesan MAN IC Serpong dicoba untuk ditularkan di seluruh kawasan negeri. Hampir di setiap provinsi berdiri MAN Insan Cendekia termasuk di provinsi Kalimantan Barat ini. Letaknya di Kabupaten Sambas, sehingga penamaannya pun mengambil nama Sambas di belakangnya.

Setiap mapel ada 7 siswa yang akan diseleksi menjadi 5 yang akan mewakili sekolah. Dari lima orang yang akan dipilih, di hari pertama saja sudah kelihatan ada dua yang menonjol. Melihat progres selama 4 hari jadi banyak pertimbangan yang muncul, karena tingkat kelas yang berbeda, daya juang, dan cara jawab. Semuanya menjadi faktor yang saya pertimbangkan untuk sampai ke kesimpulan 5 anak. Sustainability itu menjadi penting karena ini MAN IC Sambas, atau lebih tepatnya karena ini Sambas.

Sambas merupakan kabupaten terluar. Kebanggaan bagi saya tersendiri kalau sampai bisa menelurkan siswa siswi berbakat di olimpiade. Lebih jauh daripada itu saya akan lebih bangga lagi jika mereka mampu menginspirasi adik kelasnya, tetangganga, atau bahkan siswa-siswi satu kabupaten untuk sampai kepada tahapnya. Bagi saya prestasi tidak bisa diraih seperti membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan, waktu, fokus, dan meninggalkan hal-hal yang tidak berhubungan dengannya.

Atas semua alasan di atas, maka sebetulnya fokus utama saya adalah membentuk kalau bisa, seminimalnya adalah menawarkan kebudayaan untuk berolimpiade, belajar untuk bersaing. Karena dengan bersainglah maka ilmu itu akan tumbuh. Tentu rumus terbaik juga akan saya berikan kepada mereka terutama untuk apa, tidak lain untuk mereka mendapatkan pengalaman terbaik sekaligus merasakan jalan lurus dari seni berolimpiade.

Doa saya kepada kalian semua. Semoga kalian nyaman dan tekun untuk terus belajar menyelesaikan masalah. Hanya keyakinan dan ketekunan yang dapat membuat perubahan. Ingatlah kisah batu yang terkena hujan.

Saya menyikapi mereka yang berhutang

Hutang adalah suatu kewajiban yang harus dibayarkan jika sudah mampu. Termasuk zakat dalam Islam juga dijelaskan seperti hutang. Semuanya dalam tanda kutip jika mampu harus dibayarkan. Kemudian saya kepikiran kenapa mereka berhutang? Kenapa mereka tidak bisa hidup hemat? Kenapa saya mengambil KPR? Eh, kalau untuk yang terakhir ini curcol sedikit.

Dua pikiran pertama muncul karena saya mempunyai beberapa piutang kepada orang yang mungkin kalau dilihat dari segi ekonomi memang di bawah saya. Tapi kalau dilihat dari gaya hidup, kok kayaknya tinggian mereka ya. Segi ekonomi ini hanya saya ukur dengan pendapatan bulanan, sedangkan gaya hidup ini saya lihat dari kendaraan bermotornya.

Mungkin saja terdapat banyak kemungkinan kesalahan dalam penafsiran tentang ekonomi dan gaya hidup bagi saya. Oleh karenanya saya takut terbawa lebih dalam ke dalam lautan kekecewaan. Apalagi kalau betul pun, tentu prinsip hidup setiap orang berbeda-beda. Kebutuhan setiap orang akan berbeda, prioritas berbeda. Intinya sesama memegang teguh prinsip bahwa hutang adalah hutang cukup rasanya.

Baru hari ini saya tersadar, bukankah alangkah baiknya kita mendoakan supaya mereka pun dapat meraih kesuksesan. Kalau bisa pun melebihi kita. Bukan bermaksud agar nanti bisa gantian minjem uang. Bukan begitu. Tujuan utamanya, ya agar finansial dan keuangan mereka bisa dapat mandiri dan berdikari.

Saya pikir alangkah jahatnya orang-orang yang dipinjami uang lalu menyebarkan ke orang lain. Terlebih lagi jika berpikir dan mendoakan agar tidak bisa bayar utang, nanti ada aset yang disita atau apa. Apakah mereka takut kalau mendoakan kesuksesan nanti dapat tersaingi? Atau pengaruh mereka berkurang di masyarakat?

Inilah yang saya garis bawahi hari ini, bahwa saya tidak boleh egois. Kehidupan terus berjalan, kadang saya di atas dan pasti ada saatnya saya berada di bawah. Oleh karena itu, mendoakan yang terbaik dan kesuksesan yang besar bagi mereka adalah sebuah kewajiban bagi kita.

Saya percaya diri di pihak yang kalah

Saya kepikiran untuk menulis ini ketika berada di suatu kelas. Dalam kelas tersebut, saya sangat baper hingga merasa saya tersudutkan. Saya rasa banyak mahasiswa di kelas merasa aneh, karena pilihan saya yang berbeda dengan mereka. Nah ini perlu justifikasi dari orang lain apakah betul seperti itu atau saya saja yang terlalu sensitif.

Akan tetapi, hingga hari ini, tiga minggu setelah kejadian tersebut, tulisan ini baru mulai saya tuangkan dalam refleksi saya. Pengalaman baru yang saya rasakan serupa tapi tak sama tentunya, ketika saya berada di ruang kerja. Beda umur, beda pengalaman, dan beda cara mengekspresikan tentunya. Tetapi kenapa saya merasa pada titik yang sama juga. Tersudut dan terpojokkan atas pilihan saya. Itu kalimat metafora dari saya yang tidak bisa mendeskripsikan versi lebih halus daripada itu. Inilah dorongan kedua saya menuliskan hal ini.

Tak dapat dipungkiri memang memenangkan pertandingan adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Tapi apakah ini akan menjadi baik-baik saja kalau perasaan ini dipakai untuk menyudutkan orang lain. Tentu jawabannya tidak. Semoga saja hanya saya yang baperan ya. Sebenarnya bukan itu poin utama saya menuliskan tentang ini. Menurut saya ini jauh lebih penting dikatakan, daripada hanya memikirkan apakah saya baper atau benar tersudutkan.

Pada kesempatan ini saya hanya ingin menekankan bahwa sebagai warga negara yang peduli dengan bangsanya, jauh lebih baik memilih pemimpin berdasarkan kecocokan dan visi misi yang dibawa daripada memilih karena mayoritas orang memilih suatu pilihan. Kenapa saya loncat ke sana? Karena nyatanya mungkin banyak orang yang tidak siap atas perlakuan seperti yang saya alami. Orang hanya ingin menikmati kemenangan tanpa mau memperjuangkan nilai yang dianutnya. Bukankah survei yang juga merupakan pesanan?

Mulai sekarang, karena pengalaman ini, saya ingin menjadi teladan dan pribadi yang mau berjuang untuk apa yang saya pegang walau konsekuensinya saya harus tidak menang. Saya akan katakan bahwa saya telah kalah dan it's okay. Saya akan berbuat lebih baik untuk memperjuangkan nilai dan keinginan saya.

Lampu ini baru diganti kenapa sudah mati ya

Judul ini sering saya ungkapkan sebagai rasa kekecewaan karena harus membeli sebuah lampu baru. Suatu waktu istri saya pun mengucapkan hal serupa di atas. Saya tiba-tiba tersentak di dalam hati dan merasa sepertinya ada yang tidak beres. Pertama, mengapa ungkapan perasaan kekecewaan ini selalu muncul ya. Kedua, bukankah ini mempertanyakan hal yang tidak perlu dipertanyakan?

Dilihat dari spesifikasi lampu, harusnya lampu ini mampu bertahan selama ribuan jam. Apakah ini adalah sesuatu yang betul? Hal ini tentu saja belum tentu betul dan saya dapatkan info ini dari bungkus lampunya. Pertanyaannya, apakah merek dagang lampu ini termasuk merek lampu yang bonafide? Kedua pertanyaan itu langsung saja muncul sesaat setelah istri saya mengatakan hal di atas.

Selanjutnya, jika merek dagang lampu tersebut sudah cukup bagus seperti Ph*lips atau Hann*chs atau *sram, bukankah instalasi listrik juga ikut menentukan keawetan alat-alat listrik, colokan, kabel, dan sebagainya? Ini merupakan pendapat umum di masyarakat. Bisa dari alat listriknya, bisa jadi dari instalasi listriknya.

Satu hal yang menjadi keyakinan saya pada akhirnya adalah segala sesuatu punya umurnya masing-masing. Saya rasa lampu ini telah mengabdikan dirinya dengan baik. Meninggal pun dia secara khusnul khotimah. Semua ini dia dapatkan karena dia meninggal saat menemani saya mandi. Saya mandi pun saat itu untuk persiapan berangkat kerja. Jadi secara tidak langsung maka lampu tersebut telah wafat dalam tugasnya mendukung seorang ayah untuk menafkahi keluarganya.

Saya selalu ingin fokus sembahyang

Sebuah tonjokan muncul dalam alam pikiran saya saat sholat tarawih malam ke-21. Tonjokan ini menjadi salah satu indikator kekurangkhusyukan saya dalam menjalankan sembahyang. Tonjokan ini muncul beberapa saat setelah saya lupa ini rokaat berapa dan mengintip samping saya. Lupa rokaat dalam sholat juga merupakan sebuah pertanda bahwa sembahyang yang saya lakukan juga tidak maksimal.

Angan-angan dan pikiran yang terlampau banyak membuat saya loncat-loncat dari hal satu ke hal lain. Mulai dari memikirkan si jazz biru, mobil di rumah, kepikiran website probadi saya enaknya ditambah apa lagi, sampai ke kepikiran mengapa ini si author artikel kok tidak segera kirim balik artikelnya agar bisa saya terbitkan.

Saya coba bandingkan dengan tetangga saya yang merupakan guru SMA, peternak ayam petelur, dan pemilik mobil jazz putih. Rasanya saya belum pernah melihat dia salah rokaat sholat. Sedangkan saya hitung, saya sendiri lupa sudah beberapa kali, di minggu ini saja sudah 4 kali. Padahal kalau mau dibanding-bandingkan ya, tentu urusan beliau, harta beliau lebih banyak daripada saya.

Tamparan ini yang saya rasakan. Masak saya ga bisa fokus selayaknya saya mengerjakan soal matematika. Masak saya ndak bisa menikmati journey sholat ini. Padahal saya bisa lho, waktu minum, mohon maaf ini ya, waktu BAB itu merasakan sebuah penghayatan atas kegiatan tersebut.

Rasanya kalau saya belum lulus atas kejadian ini saya tidak dapat bertumbuh, diberi amanah yang lebih besar, memimpin sesuatu. Karena saya yakin sekali, Allah masih sayang saya, dia tahan saya, diberikan kesempatan. Supaya saya siap menjadi hambanya yang sukses menjadi Khalifah di bumi ini.

Template

When $a \ne 0$, there are two solutions to \(ax^2 + bx + c = 0\) and they are $$x = {-b \pm \sqrt{b^2-4ac} \over 2a}.$$